Diposting oleh
Unknown
di
07.08
Tata Cara Sholat Gerhana
Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah ‘Azza wa Jallatampakkan tersebut. Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam justru
memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan
shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih
tatkala terjadi peristiwa gerhana.
Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang,
dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian
melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan
bersedekahlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf.
Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan
perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûfsemakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah
gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini
lebih masyhur menurut bahasa. [1] Jadi, shalat gerhana, ialah shalat
yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang
cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullahmenegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah,
beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa
beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu
Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. [2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah. [3] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallamberkhutbah
dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua
itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan
hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya,
sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat
menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali
tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini
perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan
kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya
kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat
kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau
bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan
dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang;
semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita
diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah. [4]
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan
hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah,
dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari.
Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan
pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan
riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. [5] Dalil mereka:
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu,
bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai
terang kembali.”(Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua.
Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu
Hanifah dan Mâlik. [6] Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat
gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat
siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan
kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara
yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). [7]
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, “Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian
beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di
belakangya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga
berkata, “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana
berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun
pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan
berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah
menunaikannya di masjid.” [8]
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara,
yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala
matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan,
tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti
sediakala, dan (2) saat terbit matahari. [9]
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
- Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku
mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala
terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan
shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
- Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri)
- Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara
pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama.
Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana
ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali
membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa
hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah
terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ,
maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau
berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’
dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun
berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian
ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’
pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat
ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir
kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang
sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya
mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana
berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun
bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’
dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama,
kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada
raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama,
kemudian salam…”(Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua.
Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan
setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya
shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang
senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
“Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret
selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut
melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur
ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu.
Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan
orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan
bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh
jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad. [10]
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata,
[11] “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah
dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana
diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
- Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
- Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
- Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
- Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
- Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
- Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)